Tag

, ,

Ada sisi lain yang menarik untuk disimak berkaitan dengan kecelakaan maut putra Ahmad Dhani. Bukan permasalahan jumlah korbannya atau usia Dul, tapi beberapa kecaman yang dialamatkan ke Dhani terkait pola asuh Dul selama ini. Tentunya publik sudah tahu bahwa pasca perceraian musisi kondang ini dengan Maia, ketiga anak mereka berada di bawah pengasuhan sang ayah meskipun keputusan pengadilan sebelum adanya PK yang diajukan Dhani, memberikan hak asuh kepada Maia. Dari berbagai berita yang beredar, salah satu alasan Dhani  ngotot untuk mengambil alih hak asuh anak-anaknya adalah karena dia merasa yang paling mampu dan paling baik dalam mendidik anak. Bahkan setelahnya Maia sering dipersulit untuk bertemu dengan Al, El, dan Dul. Entah berdasarkan alasan apa, hingga Dhani kemudian beranggapan dan bertindak seperti itu. Namun yang jelas di sini terlihat bagaimana dominasi seorang lelaki terhadap pasangan/mantan pasangan terhadap perempuan. Padahal, dalam soal pengasuhan anak, terlepas siapa yang memegang hak asuh, seharusnya kedua pihak (ayah dan ibunya) seharusnya memiliki hak yang sama, untuk mendidik dan membesarkan anak-anak mereka? Kecuali, apabila dipandang dari sisi hukum dan keselamatan si anak hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Misal, memberikan hak asuh sepenuhnya pada seorang ibu yang jelas-jelas memiliki penyimpangan psikologis sehingga dikhawatirkan membahayakan si anak. Dalam kasus Dhani, bukankah pengadilan pada awalnya justru memberikan hak asuh pada Maia? Artinya, menurut negara Maia dianggap layak dan mampu membesarkan dan mengasuh anak-anak mereka?

Pengakuan hak seorang sebagai seorang istri dan seorang ibu yang tanpa disadari acapkali diabaikan. Betapa masih banyak “Dhani-Dhani” lain di sekeliling kita. Masih sering terdengar cacian seorang suami pada istrinya, “Perempuan tahu apa? Bisa apa?”. Perempuan sering dianggap sebagai manusia bodoh yang tidak tahu apa-apa. Masih saja ada anggapan bahwa perempuan cukup mengurusi wilayah sumur, dapur, dan kasur.

Seorang famili dulu sering berkeluh kesah, dia sama sekali tidak tahu menahu soal keuangan keluarga. Berapa penghasilan suaminya sebulan, berapa pengeluaran keluarga satu bulan, bahkan soal sekolah anaknya pun tidak tahu menahu. Semua sudah diurus si suami. Lho, bukannya enak yang begitu? Betul, terlihat enak, jika memang maksud si suami untuk memanjakan si istri supaya tidak ikut dipusingkan dengan permasalahan tersebut. Faktanya dalam kasus ini, suami bersikap demikian karena memandang rendah pola pikir istrinya yang notabene memang hanya lulusan SMP! Umpatan (yang termasuk dalam kategori KDRT secara verbal) seringkali diterimanya, “Kamu itu bodoh. Tahu apa?!”. Begitu kira-kira jawaban suami saat si istri menanyakan hal tersebut. Selidik punya selidik, ternyata ada motif lain dibalik alasan suami, perselingkuhan si suami! Apa yang terjadi setelah bertahun-tahun kemudian, saat si suami jatuh sakit dan tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya? Nyatanya, si istri tersebut sesungguhnya mampu melakukan apa yang selama ini dianggap suaminya tidak mampu. Serendah apapun pendidikan formal istri tidak seharusnya diperlakukan seperti itu.

Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan tidak harus selalu berkaitan dengan prestasi di luar sana bukan? Kesetaraan gender juga harus diterapkan dalam kehidupan berumah tangga, di dalam lingkungan keluarga itu sendiri. Dalam sebuah keluarga ada kewajiban yang memang menjadi beban suami, dan ada pula kewajiban yang melekat pada istri. Ada pula kewajiban dan hak yang melekat bersama-sama pada dua pihak secara setara. Kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun verbal yang dilakukan seorang suami pada istri atau pada anak-anak perempuannya merupakan bentuk pelecehan perempuan yang sering sulit tersentuh orang luar. Pengakuan hak dan kesetaraan gender semestinya berangkat dari lingkup terkecil, dari keluarga kita sendiri agar tidak lagi terdengar bentuk pelecehan-pelecehan pada perempuan.